Hari Buruh - Cermin Upah dalam Islam, setiap tanggal 1 Mei jutaan buruh memperingati Hari Buruh Sedunia atau May Day. Setiap kali memperingati Hari Buruh, yang selalu menjadi perjuangan kaum buruh tiada lain adalah peningkatan upah. Para buruh seolah tidak bosan-bosanya meminta pemerintah segera memberlakukan upah layak nasional yang manusiawi. Bahkan untuk tahun ini para buruh meminta pemerintah memberlakukan upah sebesar Rp 3,2 juta per bulan. Selain itu, mereka juga minta agar 1 Mei dijadikan hari libur nasional.
Berbicara upah, tentunya kita sepakat bahwa upah merupakan sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan diri si pekerja maupun keluarganya serta cerminan kepuasan kerja. Sementara bagi pengusaha melihat upah sebagai bagian dari biaya produksi, sehingga harus dioptimalkan penggunaannya dalam meningkatkan produktivitas dan etos kerja.
Sementara pemerintah melihat upah, di satu pihak, untuk tetap dapat menjamin terpenuhinya kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, meningkatkan produktivitas pekerja dan meningkatkan daya beli masyarakat. Di lain pihak, untuk mendorong kemajuan dan daya saing usaha.
Dalam konvensi ILO No 100 digunakan istilah resmi remuneration yakni semua pengeluaran biaya oleh perusahaan untuk membayar jasa tenaga kerja baik itu gaji/upah, tunjangan, fasilitas, insentif dll. Demikian sudut pandang tentang upah yang masing-masing pihak mempunyai argumentasinya.
Setiap memperingati Hari Buruh 1 Mei, upah menjadi isu perburuhan yang terus diperdebatkan oleh Serikat Buruh. Sebelumnya penentuan upah menjadi hegemoni pemerintah Orde Baru. Namun sejak lahirnya kebijakan Otonomi Daerah (UU No 22 Tahun 1999), perumusan upah yang semula dilakukan oleh Dewan Penelitian Pengupahan Nasional (DPPN) dan Dewan Penelitian Pengupahan Daerah (DPPD) diambil alih oleh pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota.
Institusi pengupahan provinsi dan institusi pengupahan kabupaten/kota merupakan bentuk perwujudan pelimpahan kewenangan perumusan dan penetapan upah tersebut. Selain konteks Otonomi Daerah, konteks kebebasan berserikat (UU No 21 Tahun 2000) pun memberikan lebih banyak ruang partisipasi kepada Serikat Buruh di tingkat kabupaten/kota untuk terlibat dalam proses perumusan upah.
Namun sayangnya, meski persoalan pengupahan ini telah diserahkan kepada daerah, problematika ketenagakerjaan/perburuhan sepanjang masa belum juga selesai, dari masalah perlindungan, pengupahan, kesejahteraan, perselisihan hubungan industrial, pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan.
Kondisi ini lebih diakibatkan oleh kelemahan pemerintah secara sistemik dalam mengimplementasikan undang-undang ketenagekerjaan, bahkan cenderung ada penyimpangan, hal lain masalah koordinasi dan kinerja antar lembaga pemerintah belum optimal dan masih sangat memprihatinkan.
Upah Konsep Islam
Upah menurut pengertian Barat terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan gaji menurut pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga dalam pengertian barat, Perbedaan gaji dan upah itu terletak pada jenis karyawannya (Tetap atau tidak tetap) dan sistem pembayarannya (bulanan
atau tidak).
Islam menggariskan upah dan gaji lebih komprehensif dari pada Barat. Allah menegaskan tentang imbalan ini dalam Alquran yang artinya sbb: Dan katakanlah : "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan." (At Taubah :105).
Lebih lanjut dalam hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah SAW bersabda: Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya). (HR. Muslim).
Lembaga, Organisasi ataupun perusahaan haruslah menerapkan prinsip keadilan dalam pengupahan. Konsep adil merupakan ciri-ciri organisasi yang bertaqwa. Alquran menegaskan: Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada Taqwa".(QS Al-Maidah: 8).
Sementara itu Nabi Muhammad SAW bersabda: Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan. (HR Baihaqi)
Dari ayat Alquran dan hadits riwayat Baihaqi di atas, dapat diketahui bahwa prinsip utama pengupahan adalah keadilan yang terletak pada kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen melakukannya. Aqad dalam perburuhan adalah aqad yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha. Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara pembayaran upah.
Transparansi Upah
Dalam menjelaskan hadits ini, Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, menjelaskan sebagai berikut: Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) karena setiap hak dibarengi dengan kewajiban. Selama ia mendapatkan upah secara penuh, maka kewajibannya juga harus dipenuhi. Sepatutnya hal ini dijelaskan secara detail dalam "peraturan kerja" yang menjelaskan masing-masing hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Bahkan Syeikh Qardhawi mengatakan bahwa bekerja yang baik merupakan kewajiban karyawan atas hak upah yang diperolehnya, demikian juga, memberi upah merupakan kewajiban perusahaan atas hak hasil kerja karyawan yang diperolehnya. Dalam keadaan masa kini, maka aturan-aturan bekerja yang baik itu, dituangkan dalam buku Pedoman Kepegawaian yang ada di masing-masing perusahaan.
Hadits lain yang menjelaskan tentang pembayaran upah ini adalah: Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda: Allah telah berfirman: Ada tiga jenis manusia dimana Aku adalah musuh mereka nanti di hari kiamat. Pertama, adalah orang yang membuat komitmen akan memberi atas nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya. Kedua, orang yang menjual seorang manusia bebas (bukan budak), lalu memakan uangnya. Ketiga, adalah orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya. (HR Bukhari).
Hadits-hadits di atas menegaskan tentang waktu pembayaran upah, agar sangat diperhatikan. Keterlambatan pembayaran upah, dikategorikan sebagai perbuatan zalim dan orang yang tidak membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi oleh Nabi saw pada hari kiamat. (D Hendriyanto)
Berbicara upah, tentunya kita sepakat bahwa upah merupakan sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan diri si pekerja maupun keluarganya serta cerminan kepuasan kerja. Sementara bagi pengusaha melihat upah sebagai bagian dari biaya produksi, sehingga harus dioptimalkan penggunaannya dalam meningkatkan produktivitas dan etos kerja.
Sementara pemerintah melihat upah, di satu pihak, untuk tetap dapat menjamin terpenuhinya kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, meningkatkan produktivitas pekerja dan meningkatkan daya beli masyarakat. Di lain pihak, untuk mendorong kemajuan dan daya saing usaha.
Dalam konvensi ILO No 100 digunakan istilah resmi remuneration yakni semua pengeluaran biaya oleh perusahaan untuk membayar jasa tenaga kerja baik itu gaji/upah, tunjangan, fasilitas, insentif dll. Demikian sudut pandang tentang upah yang masing-masing pihak mempunyai argumentasinya.
Setiap memperingati Hari Buruh 1 Mei, upah menjadi isu perburuhan yang terus diperdebatkan oleh Serikat Buruh. Sebelumnya penentuan upah menjadi hegemoni pemerintah Orde Baru. Namun sejak lahirnya kebijakan Otonomi Daerah (UU No 22 Tahun 1999), perumusan upah yang semula dilakukan oleh Dewan Penelitian Pengupahan Nasional (DPPN) dan Dewan Penelitian Pengupahan Daerah (DPPD) diambil alih oleh pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota.
Institusi pengupahan provinsi dan institusi pengupahan kabupaten/kota merupakan bentuk perwujudan pelimpahan kewenangan perumusan dan penetapan upah tersebut. Selain konteks Otonomi Daerah, konteks kebebasan berserikat (UU No 21 Tahun 2000) pun memberikan lebih banyak ruang partisipasi kepada Serikat Buruh di tingkat kabupaten/kota untuk terlibat dalam proses perumusan upah.
Namun sayangnya, meski persoalan pengupahan ini telah diserahkan kepada daerah, problematika ketenagakerjaan/perburuhan sepanjang masa belum juga selesai, dari masalah perlindungan, pengupahan, kesejahteraan, perselisihan hubungan industrial, pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan.
Kondisi ini lebih diakibatkan oleh kelemahan pemerintah secara sistemik dalam mengimplementasikan undang-undang ketenagekerjaan, bahkan cenderung ada penyimpangan, hal lain masalah koordinasi dan kinerja antar lembaga pemerintah belum optimal dan masih sangat memprihatinkan.
Upah Konsep Islam
Upah menurut pengertian Barat terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan gaji menurut pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga dalam pengertian barat, Perbedaan gaji dan upah itu terletak pada jenis karyawannya (Tetap atau tidak tetap) dan sistem pembayarannya (bulanan
atau tidak).
Islam menggariskan upah dan gaji lebih komprehensif dari pada Barat. Allah menegaskan tentang imbalan ini dalam Alquran yang artinya sbb: Dan katakanlah : "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan." (At Taubah :105).
Lebih lanjut dalam hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah SAW bersabda: Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya). (HR. Muslim).
Lembaga, Organisasi ataupun perusahaan haruslah menerapkan prinsip keadilan dalam pengupahan. Konsep adil merupakan ciri-ciri organisasi yang bertaqwa. Alquran menegaskan: Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada Taqwa".(QS Al-Maidah: 8).
Sementara itu Nabi Muhammad SAW bersabda: Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan. (HR Baihaqi)
Dari ayat Alquran dan hadits riwayat Baihaqi di atas, dapat diketahui bahwa prinsip utama pengupahan adalah keadilan yang terletak pada kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen melakukannya. Aqad dalam perburuhan adalah aqad yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha. Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara pembayaran upah.
Transparansi Upah
Dalam menjelaskan hadits ini, Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, menjelaskan sebagai berikut: Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) karena setiap hak dibarengi dengan kewajiban. Selama ia mendapatkan upah secara penuh, maka kewajibannya juga harus dipenuhi. Sepatutnya hal ini dijelaskan secara detail dalam "peraturan kerja" yang menjelaskan masing-masing hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Bahkan Syeikh Qardhawi mengatakan bahwa bekerja yang baik merupakan kewajiban karyawan atas hak upah yang diperolehnya, demikian juga, memberi upah merupakan kewajiban perusahaan atas hak hasil kerja karyawan yang diperolehnya. Dalam keadaan masa kini, maka aturan-aturan bekerja yang baik itu, dituangkan dalam buku Pedoman Kepegawaian yang ada di masing-masing perusahaan.
Hadits lain yang menjelaskan tentang pembayaran upah ini adalah: Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda: Allah telah berfirman: Ada tiga jenis manusia dimana Aku adalah musuh mereka nanti di hari kiamat. Pertama, adalah orang yang membuat komitmen akan memberi atas nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya. Kedua, orang yang menjual seorang manusia bebas (bukan budak), lalu memakan uangnya. Ketiga, adalah orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya. (HR Bukhari).
Hadits-hadits di atas menegaskan tentang waktu pembayaran upah, agar sangat diperhatikan. Keterlambatan pembayaran upah, dikategorikan sebagai perbuatan zalim dan orang yang tidak membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi oleh Nabi saw pada hari kiamat. (D Hendriyanto)